Diskursus
Kartel Pangan bukan hal baru di
Indonesia, pasalnya problem ini muncul dari carut marurnya tata kelola dan
terus berulangnya masalah pangan. Politik otoritarian dan praktik kapitalisme
acapkali dipraktikan dengan berbagai model, dengan
menggiring tataniaga pangan strategis dilempar kemekanisme pasar sehingga para
pebisnis dengan modal besar dapat menguasai pasar dan melakukan setting untuk
mengganggu tataniaga pangan.
Fluktuasi
harga pangan merupakan hal yang sering terjadi di Negara kita, namun demikian
sejak awal 2015 hingga 2016 kenaikan harga pangan tergolong tinggi. Dari
data Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI) harga komoditi
pangan strategis terlihat mengalami kenaikan; beras Nasional tercatat naik 13,2
%, telur ayam ras 9,5 %, daging sapi 6,1 % dan ayam pedaging 3,0 %. Tren kenaikan harga pangan tersebut semestinya berbanding
lurus dengan tingkat kesejahteraan petani sebagai penghasil komoditi tersebut, namun
terhitung sejak pemerintahan Jokowi&Jk berlangsung tercatat 570.000 petani
jatuh miskin. Harga gabah di musim panen Februari-Maret 2015 tercatat hanya Rp
3.100 - Rp 3.300, jauh lebih rendah dibanding dengan harga pembelian pemerintah
(HPP) yaitu Rp 3.700 /kg.
Indef
juga mencatat, kesejahteraan petani makin pemburuk akibat adanya praktik
kartel. Nilai tukar petani (NTP) terus menurun dalam tiga tahun terakhir dari 105,24
menjadi 104,91 dan terus terjun hingga 102 pada tahun 2015. Sangat memungkinkan
kejadian tersebut akan berulang jika tidak ada langkah preventif dari
pemerintah dalam mengantisipasi kondisi tataniaga pangan Indonesia.
Kamar
dagang dan industry (kadin) Indonesia menyatakan, ada enam komoditas pangan
yang berpotensi kartel di Indonesia. Mulai dari daging sapi, beras, daging
ayam, gula, kedelai, jagung dan beras disebut-sebut dikuasai oleh beberapa
pihak.
Komoditi
pangan Indonesia memiliki potensi besar, dengan jumlah penduduk sekitar 230
juta jiwa yang notabenenya penduduk terbesar ke 4 di dunia, tentu komuditi
tersebut banyak dilirik oleh para pelaku usaha untuk mengeruk banyak keuntungan
dengan berbagai cara. Suka tidak suka masyarakat mesti membeli komoditi
pangan yang telah diatur harganya, sekalipun harga amat tinggi. Selanjutnya
skala makro kartel akan mengakibatkan inefisiensi sumber daya, dicerminkan oleh
permainan stok komoditi akibat pembatasan produksi atau sebaliknya.
Apa
yang dilakukan oleh pelaku kartel, dalam berbagai ragam bentuknya, dapat
dijelaskan secara ringkas sebagai bentuk pengisapan terhadap konsumen, dimana
para pelaku kartel menempatkan masyarakat sebagai sasaran eksploitasi dan hampir
tidak memiliki alternatif pilihan. Disini kemudian uang rakyat diserap habis-habisan.
Mari
kita sedikit merefleksi sejarah kartel pada masa orde baru. Berdasarkan
literature yang ada, sejarah kartel pangan bangsa ini sejak orde baru selalu
didikte oleh Kartel yang diberi fasilitas terhadap Negara. pada jaman Bung
Karno pengimpor pangan banyak diserahkan pada perusahaan tertentu, kemudian
diawal pemerintahan Suharto dimana waktu itu Negara belum memiliki banyak
anggaran dana, namun disisi lain juga mesti membangun ketahanan pangan yang
kuat, dengan kondisi tersebut Soharto menyerahkan persoalan impor ke pengusaha
teman dekatnya yang sejak awal paham cara tataniaga.
Dari
sinilah bibit-bibit Kartel terbentuk, pengusaha tersebut diberikan fasilitas
untuk mengimpor pangan dengan memberikan keluasan kepada mereka untuk berusaha
membiayai aktifitas impornya, bukan hal yang sulit bagi pengusaha itu untuk
mendapatkan pembiayaan, memperluas konsesi dari pemain pangan ke industri
lainnya meruapakan cara yang ditempuh, beberapa BUMN juga jatuh ke tangan
pengusaha tersebut.
Pada
tahun 1968, pak Harto kelimpungan memikirkan bagaimana menjaga ketahanan pangan
setelah masa krisis pangan di tahun 1966/1967. Untuk menyikapi hal tersebut
dikumpulkan beberapa pedagang yang
ngerti trading impor pangan, setelah itu terkumpul pooling fund sebagai dana
jaminan impor. Dititik ini kemudian munculnyanya “kartel impor” di Indonesia.
Pelaku
kartel mengatur harga sesuai kesepakatan, kartel memiliki jalur informasi
intelejen pasar yang paham bagaimana arah pasar bergerak, pelaku kartel mampu
mengosongkan barang, praktis harga akan naik atau membanjiri pasar dengan
produk tertentu untuk menekan produk pangan lokal.
Institute
For Developmen of Ekonomis and Finance (Indef) menilai kartel pangan di
Indonesia tidak terlepas dari Letter of Intent (Lol) yang dikeluarkan Indonesia
untuk mendapatkan kucuran dana bantuan dari Internanational Monetary Fund
(IMF). LOL IMF telah membuat tataniaga pangan strategis dilempar ke mekanisme
pasar sehingga para pebisnis dengan modal besar menguasai pasar dan mengganggu
tataniaga pangan.
Sementara
pangan diserahkan ke mekanisme pasar, namun realitasnya mekanisme pasar tidak
mampu menembus kartel yang menguasai struktur pasar. Bila di masa Bulog,
kendali permainan ada ditangan petinggi-petinggi Bulog, dimana kuota dimainkan
di internal Bulog untuk mengontrol harga, maka di masa sekarang memiliki rantai
lebih panjang lagi, pelaku usaha akan melukukan kongkalikong terhadap lebih
banyak stakeholder agar mampu memuluskan keinginanya dan mengeluarkan kebijakan
kuota impor pangan.
Tidak
dipungkiri pula adanya tengkulak (perantara) yang membuat disparitas harga
tinggi antara petani dan konsumen.
Kartel
yang didefinisikan sebagai kerja sama beberapa perusahaan yang bersaing untuk
mengordinasikan kegiatannya sehingga dapat mengendalikan jumlah produksi dan
harga suatu barang dan jasa untuk memperoleh keuntungan diatas tingkat
keuntungan yang wajar.
Hal
yang mudah untuk dipahami, namun bukan merupakan hal yang mudah untuk menghilangkan
praktek kartel pangan yang boleh dikatakan telah mengakar di tataniaga pangan
Indonesia, ini adalah tragedi pangan bangsa kita, tetapi bukan hal yang tidak
mungkin memberangus mata rantai pelaku kartel yang telah menyejarah.
Data
yang terhimpun, Komisi Pengawasan Persaingan Usaha (KPPU) memvonis 32
perusahaan penggemukan sapi (feedloter) yang telah melakukan praktik kartel di
kawasan Jabodetabek. Keputusan tersebut tertuang dalam Sidang Majelis KPPU di
Jakarta, pada jumat (22/4/2016), serta ada beberapa perusahaan perunggasan
dalam tahap penyelidikan. Dengan adanya progress dari KPPU saya kira bukan
berarti pekerjaan pemerintah telah selesai, ini merupakan awal, kejelasan bahwasanya praktik kartel nyata dan
telah mengakar di tataniaga yang menyangkut hajat hidup orang banyak.
Masyarakat
mesti selalu mendukung pemerintah memberantas kegiatan ilegal tersebut, dengan
bekerjasama dalam mengawasi pelaku usaha baik ditingkatan produsen maupun
konsumen, pelibatan masyarakat sebagai
pengawas tataniaga maka akan tercipta kekuatan besar dalam control persaingan
usaha. Namun lebih jauh lagi, pemerintah sebaiknya mengatur regulasi sebagai
tindakan proteksi terhadap konsumen, serta langkah preventif terhadap pelaku
pasar yang nakal, bukan hanya menjadi instutusi peradilan yang sebatas
mengobati struktur yang sakit. Tentunya ekspektasi kita dikemudian hari tidak
ada lagi cela bagi pelaku pasar untk melakukan praktek-praktek kartel dengan
bentuk apapun yang merugikan masyarakat.
Penulis : Andi Anugerah Wiajaya.
Fakutas Peternakan, Universitas Hasanuddin